Jawaban Terbaik Mama
“Keajaiban menari-nari di sekelilingmu, tapi
tidak menyentuhmu. Bagaimana rasanya?”
Jiwa
seorang ibu tidak pernah utuh semenjak dia melahirkan jundi-jundi kecil dari
rahimnya yang kokoh. Perasaan khawatir, takut, selalu menggelayuti hari-harinya
kala mendapati sang anak belum pulang sekolah, apakah sudah makan atau belum,
jalan keluar rumah dengan siapa, dan segudang rasa kekhawatiran lainnya. Begitupun
juga dengan malaikat yang Allah kirimkan padaku.
Mama
sangat pandai menjaga perasaannya serapat mungkin. Mengekspresikan dirinya
seperlu saja. Mama bukanlah seorang wanita yang sangat aktif di luar rumah,
kegiatannya berkutat di dalam rumah dan mengaji tiap pekan bersama ibu-ibu
tetangga sekitar rumah. Mama adalah orang tertutup. Orang yang tipikalnya tidak
terbiasa dengan kasih sayang fisik, seperti aktifitas membelai, mencium,
mengatakan ‘I love you’, ataupun
sekedar membacakan dongeng sebelum tidur. Tapi, aku paham kasih sayang dan
cintanya tersirat dalam semua tindakan kesehariannya merawat anak-anaknya.
Sebagai
anak perempuan satu-satunya di keluarga, aku selalu mengajak mama shoppingbareng. Tiap mama membeli baju
yang menurutnya bagus, selalu diperlihatkan kepadaku. Wajahnya sangat sumringah.
Meski akhir-akhirnya, mama bilang kalau baju itu harus kredit. Hihi.
Kadang
kala, aku ingin kemana-mana ditemani mama. Padahal aku sudah sebesar ini.
“Mama
capek. Di luar panas.”
“Aih,
Ma. Kapan lagi jalan-jalan keluar? Temani Binti yaa? Binti yang gonceng deh.”
Jalan
sama mama juga enak apalagi shopping,
kalau uang kurang. Ada mama yang mau nambahin. Hihi.
“Kalau
mama sih, gak suka model baju kaos gini.”
“Tapi
Binti suka. Binti beli yaa.”
Kadang
makin besar anak perempuan, mereka mempunyai jarak dengan mamanya karena telah
punya teman baru yang gaul dan punya dunia sendiri. Bagiku tidak, mumpung aku
masih butuh mama, batinku
“Mama,
mau kemana? Kok pake jilbab? Ikuuuuutttt….”
“Mau
kemana sih. Mama cuma mau jalan-jalan ke rumah tetangga kok!”
Gubrak.
Mama
juga terbiasa membelikan pakaian yang longgar untukku sejak kecil. Bukan karena
apa sih, kata mama supaya bisa dipakai sampai besar. Haha. Tapi, jujur, aku
sangat merasakan manfaat itu sekarang. Aku jadi terbiasa pakai pakaian longgar,
tidak ketat. Aku selalu malu jika keluar memakai pakaian serba ketat. Menurutku,
kalau pakai pakaian ketat, aku merasa mata-mata selalu memandangiku. Entah
memang benar atau keburu geer. Hihi.
Berpakaian
sopan pun tidak hanya menular ketika keluar rumah. Di dalam rumah pun aku
memakai pakaian sopan, minimal masih batas aurat. Meski bukan pakaian mau
bepergian ya. Tetap selalu ada mata-mata yang harus dijaga pandangannya meski
itu di dalam rumah sekalipun.
Keberanianku
memulai memakai jilbab setiap keluar rumah, pertama kali di protes mama. Saat
itu aku masih SD kelas 5.
“Ngapain
sih pakai jilbab? Ke toko depan sebentar aja kok. Kelamaan.”
“Ma,
ini aurat loh ma.”
Sejak
mendengar jawabanku, mama tidak pernah protes terkait penampilan tertutupku.
Mama malah kemudian setiap keluar rumah memakai jilbab. Alhamdulillah. Proses
berjilbabku pun kuabadikan dalam buku ‘Ini, Aku Untuk-Mu’. Buku yang
kupersembahkan khusus untuk mama. Rasa terima kasih atas cintanya mengajariku
menutup aurat sejak dini.
Terkadang
yang kutakutkan semakin aku dewasa adalah semakin tuanya kedua orang tuaku. Apakah
masih ada waktu kumaknai kebersamaan dengan mereka. Melukiskan senyum
kebanggaan di guratan wajah tua mereka. Saya tidak tahu sampai kapan Allah beri
nikmatnya sehat dan panjang umur. Saya pun tidak tahu umur mama. Apakah aku
atau mama yang akan duluan menghadap yang Maha Cinta.
Ujian dari-Nya pun datang
Mama
jatuh sakit. Dokter memvonis stroke ringan setelah operasi infeksi jari
kelingking di kaki kanan. Beberapa bulan kemudian, infeksi itu menjalar
berpindah ke jari kaki kiri Mama. Mama telah di periksa gula darah dan untuk
membuktikan dugaan diabetes. Nihil.
Aku
terpekur lama. Sesuai bidang ilmu yang sedang kutekuni sekarang, aku menduga
ada psikosomatis pada diri mama. Unfinished
business.Setiap pulang ke rumah dari kota rantau karena aktivitas kuliah,
aku selalu dekatkan diri pada mama. Menanyakan apa ada masalah yang mengganjal
di pikiran mama. Mama selalu mengelak dan mengatakan tidak ada apa-apa. Tapi
aku tidak langsung percaya. Aku bisa lihat dari tatapan mata mama yang
menyimpan sesuatu.
Makin
hari kondisi mama makin melemah. Anggota gerak bagian kiri sulit digerakkan.
Mama juga tidak kuat untuk berdiri lama-lama. Tiap malam mama sulit tidur dan terkadang
mengigau. Sampai-sampai matanya bengkak. Di suruh tidur, mama keukuh terjaga
sampai pagi. Mama pun kehilangan beberapa kilogram berat badannya.
Sebelumnya,
mama selalu bawa dengan sholat lima waktu. Namun kondisi terakhirnya, mama pun
lupa-lupa ingat sholat. Ingatannya terganggu. Berbicaranya pun pelo.
Aku
semakin khawatir dengan kondisi mama. Pikiranku pun terbagi dua, di kampus dan
di rumah. Tiap dua minggu sekali pulang ke rumah. Aku selalu menangis setiap
mengingat mama. Dan selalu mendoakan kondisi mama agar pulih seperti dahulu
kala, di sujud-sujud panjangku.
Di
rumah mama di jaga ayah, kakak, dan bude. Sebenarnya ujian ini adalah cobaan
berat bagi ayah. Ayah adalah seorang terapi pijat yang bisa menyembuhkan orang
sakit, termasuk stroke ringan. Tapi sepertinya tidak untuk mama.
“Loh,
adik saya yang stroke sembuh di pijat ayahmu. Mamamu kok gak sembuh-sembuh
mbak,” kata salah satu pasien ayah.
Pukulan
telak. Ini adalah cobaan terberat ayah.
“Ayah
memang di beri kemampuan sama Allah mengobati orang sakit. Tapi mungkin tidak
untuk mama. Mungkin rezeki kesembuhan mama lewat dokter di rumah sakit.”
Dada
ini sesak. Betapa Allah menguji ayah dengan pekerjaannya. Sejak mama sakit, aku
bisa melihat ayah yang menjadi tidak semangat, wajahnya tidak secerah dulu.
Raut mukanya lebih redup. Tubuhnya lebih kurus. Kondisi fisik ayah berubah. Mungkin
benar, terkadang bagi pasangan yang saling mencintai, kala pasangannya sakit,
bisa berarti kehilangan separuh kesegaran fisik.
Keajaiban menari-nari di
sekelilingmu, tapi tidak menyentuhmu. Bagaimana rasanya?
Sudahkah kuat
hamba, menurut-Mu?
Kesibukan
kampus membuatku kadang tidak bisa pulang tiap 2 pekan sekali. Aku selalu
berusaha menelpon mama. Tiap mendengar suaraku, mama menangis. Terbata-bata
memanggil namaku, dan menanyakan kabarku diselingi tangisan yang membuatku mau
tak mau menangis juga. Tapi selalu kutahan, agar mama tidak tambah sedih. Aku
tidak mau menangis di hadapan mama. Kalau aku lemah, nanti mama tambah lemah.
Mas
Amir, Kakak laki-lakiku yang sering merawat mama ketika tidak kerja shif.
Bergantian dengan bude. Kadang aku salut dengan Mas Amir, meski capek kerja dia
sempatin menyuapi mama makan sampai dengan memapah mama mandi. Sebagai
perempuan, kadang aku malu jika mamaku harus mandi meski itu dimandikan anak
laki-lakinya sekalipun. Kalau ada aku, lebih baik aku saja yang melakukan.
Laki-laki
yang baik bisa dilihat bagaimana dia memperlakukan ibunya. Semoga Allah
balaskan surga untukmu, kak. Aamiin.
Sampai
pada hari yang mengantarkan mama ke rumah sakit ke sekian kali. Ini terparah.
Mama muntah darah. Harus dirawat inap di rumah sakit pemerintah. Kala itu
kuliah sudah memasuki masa aktif. Aku masih merawat mama. Tiap malam aku
menjaga mama. Berusaha membuatnya nyaman dan tertidur. Mengelus dahinya sembari
membaca Al Qur’an sayup-sayup di telinganya. Damai sekali hati ini melihatnya
tertidur pulas. Wajahnya cantik sekali tanpa ulasan kosmetik.
Teringat
ketika aku sakit dulu, harus dirawat di rumah sakit. Mama yang menjagaku
seharian. Sampai tidak ada pulang ke rumah. Sekarang giliranku, Ma.
Setelah
diperbolehkan pulang ke rumah dan keadaan mama membaik. Adik mama dan nenek
dari jawa juga ada di rumah. Mama juga sering tertawa dan tampak bahagia. Aku
berniat kembali ke kota rantau. Mengejar mata kuliah yang ketinggalan. Setelah
pamit ke mama dan 3 jam kemudian sudah sampai di kota rantau. Betapa
terkejutnya, malamnya aku diberi kabar Mas Amir kalau mama kembali masuk rumah
sakit. Muntah darah sambil terus menyebut namaku. Astaghfirullah…
Allah…
Tak
henti aku menyebut nama-Mu. Ya Allah, hamba mohon ampun…
Esok
hari, ayah menelpon agar aku segera kembali ke Bontang. Segera aku mencari
mobil carter dan pulangnya langsung menuju ke rumah sakit.
Ya
Rabb…
Tak
kuat aku melihat mama. Selang di hidungnya. Monitor di sampingnya. Bau anyir
darah menyeruak di ruangan perawatan. Kondisi mama lemah. Aku langsung
menghambur memeluk Mas Amir dan menangis sesenggukkan di bahunya.
Aku
merasa bersalah sama mama. Meninggalkannya sedang mama terus memanggilku saat
itu. Tebersit ingin mengambil cuti kuliah. Agar fokus merawat mama. Apalagi aku
anak perempuan satu-satunya diantara 3 saudara laki-laki. Yang penting mama
sembuh, yang lain terasa tidak penting lagi.
Dua
hari kemudian mama muntah darah lagi. Kali ini sama, dia menyebut nama yang
kakak, Mas Amir. Dini hari, langsung saja di bawa ke ruang ICU. Sesak sekali
melihat mama di kelilingi alat kontrol dan selang-selang. Apalagi mama demam.
Tak henti ayat-ayat suci didengarkan di telinganya. Aku bolak-balik apotik dan
ICU mengantarkan obat.
“Mba
Binti, banyak-banyak doa ya, kondisi mama makin kritis,” kata perawat yang
menemuiku di depan ICU.
Allah…
Berikanlah kesembuhan terbaik untuk mama. Hanya Engkau yang tahu yang terbaik
untuk mama. Aku berserah pada-Mu.
Kondisi
mama melemah. Suasana juga tak kalah tegang di tengah keluarga. Ingin menangis
tapi mataku sudah cukup bengkak dan lelah. Allah… sudah kuatkah hamba,
menurut-Mu?
“Ma,
aku minta maaf kalo Binti ada salah ya. Binti maafin semua salah mama,”
kubisikkan kata-kata itu di telinga mama sembari mencium pipi dan keningnya.
Mata mama tertutup tapi air matanya berbicara. Kondisi makin kritis. Hingga
menjelang magrib, detak jantung mama tidak terdeteksi. Nafas perlahan-lahan
melemah dan menghilang.
Hari
Jumat, menjelang magrib. 19 September 2014. Mama berpulang kepada Allah. Tempat
sebaik-baiknya kembali.
Innalillahi wa innailaihiroji’un.
Malam
harinya langsung dimakamkan. Adik laki-laki terakhirku, Nizar, 4 tahun, yang
tidak begitu mengerti menangis melihat mama. Mungkin terbawa suasana duka di
rumah. Adik pertama, Asyar, sudah mengerti. Kami mencium mama. Ciuman terakhir.
“Mama,
kok di taruh bawah, di tutup pasir mbak?”
“Nanti
mama pulang ya?”
“Mama
naik haji, adek. Nanti pulang.”
Seiring
waktu nanti kamu akan mengerti, dek Nizar.
Jawaban Terbaik
Mama
Semalaman
aku menangis selepas mama dimakamkan. Mata bengkak.
Ikhlaskan…
Ikhlaskan…
Paginya,
teman-teman halaqoh datang jauh-jauh dari Samarinda. Bahagia melihat mereka datang.
Seperti halnya semangat yang bisa menular, rasanya kebahagiaan pun bisa
menular. Menawar rasa duka dan melapangkan dada. Bahwa ada wajah cinta-cinta
lain yang abadi dan tak pernah berakhir duka. Berpulang kepangkuan-Nya, mungkin
adalah jawaban terbaik untuk mama, untukku dan saudara-saudara. Teruntai doa
agar mama senantiasa di terima amal ibadah dan ditempatkan di Jannah-Nya.
Ada
perasaan aneh beberapa bulan setelah mama meninggal. Jika seperti biasanya mama
di kamar saat aku pulang. Namun, aku hanya mendapati kasur kosong. Posisi kamar
yang belum berubah. Menambah sesak dada. Alhamdulillah, ada keluarga, sahabat,
dan teman-teman yang menguatkan. La tahzan, innallaha ma’ana…
Seharusnya,
hari Ibu bulan Desember tahun ini, milikmu juga. Tapi ternyata, Allah lebih
menyayangi mama.
Semoga
Allah mempertemukan kita, di Jannah-Nya, ya ma.
Aamiin.
-The winner of writing mother's day competition 2014, Pusdima Unmul-
Komentar