RITME RAMADHAN


            “Astaghfirullah… ini mesjid atau PAUD?!”
            “Yaa… sabar aja. Namanya juga anak-anak, Ki.”
            “Tapi gak gitu juga. Udah tahu tempat orang sholat. Bikin nggak khusyuk. Orangtuanya apa nggak jagain sih!”
            Makki mengomel panjang lebar di samping Andi sambil mengedarkan mata ke sekeliling masjid yang dipenuhi anak-anak kecil berusia 2 – 5 tahun. Andi mendengus pelan, kembali menyimak ceramah yang sedang berlangsung.
            “Apa nggak ada penceramah lain, Ndi? Udah sepuh gitu! Astaga… ngomongnya aja nggak begitu jelas.”
            “Iya, kamu yang ntar jadi penceramah! Ustad Makki Matahari Muhammad. Masya Allah, keren!” sahut Andi disambut sikutan Makki, “Ah, aku nggak pintar ngomong. Masih kecil gini.”
            “Lah, kamu nggak ada bedanya sama anak ingusan lari-lari itu dong, Ki.”
            Makki mendelikkan mata tidak terima. Belum sempat ia membalas, tidak lama kemudian iqamat shalat terawih berkumandang menghentikan pembicaraan dua sahabat karib tersebut. Mereka beranjak berdiri memenuhi shaf terdepan menunaikan shalat terawih berjamaah.
 



            Makki melepas sarung dan pecinya di meja ruang tamu.
            “Makkiiiiii…….. jangan taruh sembarangan sarung dan pecimu. Letakkan di kamarmu!”
            Makki melangkah malas ke dalam kamar meletakkan dua benda itu. Ibunya selalu tahu apa saja yang akan dilempar dia saat buru-buru pergi main di luar rumah. Mungkin ibu punya telepati yang sangat kuat, batinnya.
            “Bagus. Jangan pulang malam-malam.”
            “Iya, bu”
            Alunan ayat Al Qur’an dari corong TOA mesjid menggema di keheningan malam. Makki tahu besok grup ngaji Irma dan gerombolannya akan mencari tahu sudah sampai juz berapa grup bapak-bapak dan ibu-ibu yang biasa mengaji di mesjid. Trik balap-balapan khatam terbanyak Al Qur’an. Padahal mereka toh, nggak di kasih hadiah apapun juga.
            “Ngapain coba Irma dan gerombolannya begitu? Pahala juga sama.”
            “Bukan begitu, Makki. Kata Ayahku sih, fastabiqul khairot.”
            “Apaan tuh, Ndi?”
            “Fastabiqul khairot itu artinya berlomba-lomba dalam kebaikan. Mumpung bulan Ramadhan, kita banyak-banyak melakukan hal positif, seperti tilawah Al Qur’an, sedekah, sholat terawih, sholat tahajud, dan lain-lain. Gitu.”
            Mulut Makki membulat. Tanda mengerti.
            “Tilawah Al Qur’an udah juz berapa?”
            “Hmm… Ramadhan ke-17 ini baru juz 2. Hehe. Kamu, Ndi?”
            “Juz 17. Sesuai harinya. Jadi, selama bulan Ramadhan khatam.”
            “Wahh, aku ketinggalan jauh.”
            Sayup-sayup dari kejauhan terdengar dentuman. Dentuman khas yang selalu ada di bulan Ramadhan. Dentuman dari meriam bambu. Makki mengakhiri ‘quality time’ dengan sahabatnya. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Laki-laki yang bersekolah SMA kelas 2 itu beranjak berpisah. Pamit. Meninggalkan teras rumah Andi menuju baiti jannati-nya yang hanya berjarak 20 petak.
            Makanan sahur apa ya yang akan di sajikan ibunya untuk sahur nanti? Pikir Makki tidak sabar. Ibu Makki selalu mencoba masakan baru, lebih tepatnya eksperimen masakan baru yang di dapatnya dari acara masak di TV. Hasilnya cukup memuaskan. Tidak asing jika setiap Bulan Ramadhan, tayangan TV di dominasi iklan makanan. Makki harus ekstra mengerem laju jatuhnya air liur dari bibirnya.
            “Ini iklan kok sudah lebaran bu? Baru aja masuk puasa. Wah, islam aliran apa tuh?”
            “Lebih tepatnya alarm pulang kampung, Makki. Lihat saja, tidak lama lagi Abang Nur akan pulang ke rumah. Hahahaa,” jawab Ayah Makki. Ibu Makki hanya senyum-senyum.
            Makki berlari pulang menerobos angin malam.

 



            “Adik sholeh, dengarkan kakak ya. Jangan lari-lari depan orang sholat. Oke!”
            “Iih, lepas-lepas!” Balita usia 3 tahun berontak di pegang bahunya oleh Andi.
            “Iya, tapi jangan lari depan orang sholat ya. Sholat kakak jadi nggak konsentrasi.”
            “Hmm…hm. Iya tata,” Balita cadel itu pun ngeloyor pergi sambil menjatuhkan remah rotinya.
            “Hampir aja keinjek kepalaku pas sujud sama anak kecil itu. Lari-lari kok pas orang sholat,” kata Makki mendengus pelan. “Untung nggak kupukul. Untung anak kecil.”
            “Sabar, Ki. Namanya juga anak kecil. Di kasih pengertian aja pelan-pelan. Anak-anak kecil sholat di mesjid supaya kebiasa. Ayahku selalu mengajak adikku, Adam sholat di mesjid.”
            “Iya, sih. Tapi kan ganggu, Ndi! Sholat aja di rumah. Kalau udah besar baru di Mesjid.”
            “Di rumah di ajak sholat. Bener, Makki. Sambil di kasih pengertian dan pemahaman. Kalau sholat itu nggak boleh ribut. Aku juga pernah protes seperti itu ke Ayahku. Ayahku bilang adik perlu di biasakan sejak kecil untuk beribadah di mesjid tanpa mengganggu orang yang juga ibadah. Alhamdulillah, sekarang adikku nggak ribut di mesjid. Adam sholat di sampingku atau Ayahku. Meski sambil noleh-noleh.”
            “Oh, gitu. Iya juga sih.” Makki menggangguk setuju.
            Sholat terawih telah selesai. Jamaah berhamburan keluar mesjid. Jamaah laki-laki yang didominasi bapak-bapak ada yang nongkrong depan teras mesjid sembari menikmati sisa hidangan buka puasa. Ada pula yang melanjutkan tilawah Al Qur’an  di dalam mesjid.
            “Astaghfirullah!!!!!!!”
            “Kenapa! Kenapa!” sahut Andi kaget.
            “Sandalku mana! Sepatu gunung Eiger-ku, Ndi! Tadi perasaan ku taruh sini kok!”
            “Innalillahi. Beneran nggak ada?”
            “Ya Allah, barusan aja beli. Tadi kupakai buat sekalian naik ke gunung belakang sekolah. Lah, pakai hilang lagi sekarang!!! Awas aja kalau ketemu malingnya. Belum pernah nelan meja ya!”
            “Di cari aja dulu, Ki. Mungkin keselip di tempat lain.”
            Mereka menyusuri setiap sudut mesjid dan bertanya pada setiap anak muda yang ada di mesjid.
            Nihil.
            “Great! Pulang nggak pakai sandal.”
            “Yaudah kalo gitu, aku juga nggak usah pakai sandal, Ki. Biar sama kita.”
            “Ah, kamu memang sahabat terbaikku. Nggak ada lu nggak rame! Hahaha. Ayo, pulang nyeker!”
            Berangkat pakai sandal gunung Eiger, pulang nyeker. Ini kah namanya berkah Ramadhan? Makki pun bingung. Pencurian sepatu dan intervensi makhluk-makhluk imut di mesjid harus segera di atasi. Demi Ramadhan yang damai, tekad Makki.
 



            “Adek-adek yang sholeh dan sholehah, sini dekat sama kakak. Kita main bareng-bareng yuk.”
            “Horeeeeeee!”
            “Ssstt….!!! Tapi janji ya kita nggak boleh ribut. Nanti ada hadiah yang akan kakak kasih ke adik-adik. Ya?”
            “Horeee. Mau… mau kakak!”
            “Kakak akan cerita kehidupan kekasih Allah, Rasulullah sallahu’alaihiwassalam…”
            Makki tersenyum simpul melihat antusias anak-anak kecil oleh arahan Irma. Ia kini koordinator Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Divisi Terawih Fun. Makki tergerak karena keributan anak-anak ucul ini tiap malam terawih yang mengganggu kekhusyukan sholat jamaah. Mereka di giring ke ruang IRMA di samping mesjid setelah sholat Isya. Selain malam cerita nabi dan 1001 malam, ada juga sholat berjamaah bersama anak-anak ini. Persis PAUD. Hanya lebih singkat. Setelah terawih mereka kembali ke orangtua membawa hadiah masing-masing.
            Makki ditemani Andi membuat tempat penitipan sandal. Bergiliran jaga dengan dua anggota laki-laki IRMA. Sembari menjaga sandal, mereka tilawah dan murojaah Al Qur’an. Penitipan ini sukses membuat menurunnya grafik pencurian sandal dan sepatu di sekitar masjid. Petugas piket Terawih Fun ini mengganti sholat terawihnya dengan sholat malam.
            “Beres?”
            “Alhamdulillah, ustad Makki Matahari Muhammad,” jawab Andi.
            “Aamiin…”

            Ramadhan akan selalu bergulir seiring diberikan kesempatan untuk bersua. PR-nya adalah menjaganya agar tetap tidak kehilangan khas dalam setiap generasinya. Bahwa Ramadhan akan selalu mempunyai ritme yang akan di kenang dan sekaligus dirindu. Selalu.

Komentar

Unknown mengatakan…
Kereen :3
Unknown mengatakan…
hihi. makasih kak ^^

Postingan populer dari blog ini

Lomba Horor Tengah Malam

Talk About MAMA

Binti, Binti, dan Binti