DRIVING IS ME TIME (When Aldo Zero to Hero)

         Aku memacu kuda besiku membelah pagi. Deru desir angin memekakkan telinga. Meski sudah di lindungi helm berstandar ini, kecepatanku memang tak bisa diragukan. Nggak heran memang, teman-temanku menyebutku dengan julukan Penantang Maut.
“What! Gile lu, ndro! Jarak tempuh Samarinda-Bontang ‘kan 3 jam. Lah, lu pangkas jadi sejam.” Respon Aldino sudah selalu kuduga demikian. Memarahiku. Entahlah ini sudah yang keberapa kali. 
“Ah, itu tergantung soundtrack perjalananku hari ini, boi!” jawabku membela.
Kali ini Chester Bennington setia menemani selama perjalanan. Suara menghentak dan scream khas vokalis Linkin Park ini membuat nada-nada di setiap gas yang kudera. Kalau nadanya mellow, aku pun melembat. Berbanding terbalik jika lagunya sangat terlampau semangat. Tiba-tiba aku jadi penguasa jalanan. Sebelas dua belas dengan Valentino Rossi. Versi KW-nya. Hehe. Berbalap dengan berisiknya angin dari balik helm. Hidup ini dinikmati. Setiap scene dalam perjalananku tadi sepertinya bagus di bikin video klip.
Satu hal yang membuatku tertegun saat di perjalanan menuju Bontang. Tidak hanya satu dua anak yang menyetop kendaraan. Tangan kecil mereka melambai ke arah pengendara. Wajah mengiba. Seragam merah putih yang lusuh. Bagaimana anak-anak kecil ini berani sekali menyetop kendaraan di jalan? Menyetop supir yang tak dikenal? Dimana orang tua mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.
Kejadian tragis satu demi satu membuka ingatan. Bagaimana kawan terbaikku usianya berhenti di atas aspal jalanan. Menyumbang satu kasus dari ribuan kasus kecelakaan lalu lintas lebaran tahun lalu. Umur memang tak bisa diterka. Tapi cara meninggalnya bolehkah memilih? Lebih elegan? Tak perlu dengan cara menyakitkan seperti itu.
Driving is me time.
Mengemudikan kendaraan adalah caraku memanjakan diri. Tiap orang mempunyai cara berbeda untuk refreshing diri. Sama halnya dengan hobi. Meskipun aku tidak mendaftar menjadi pembalap motor cross. Hanya saja, mengemudi membuatku lebih hidup. Mengamati orang-orang yang beraktivitas di sekitar jalan, mengenal pribadi pengendara, ada yang ugal-ugalan, baik hati, peduli, solidaritas sesama supir truk besar. Sampai kriminal serta kerasnya kehidupan di jalanan. Beberapa kejadian di jalanan, membuatku belajar. Kehidupan bisa bermula di jalanan. Jalan raya yang menghubungkan Bontang dan Sangata contohnya. Membelah hutan Sangkima. Bermula dari jalan raya, bak gula dikelilingi semut. Para pendatang mulai mendirikan bangunan di pinggir jalan. Merobek-robek lebatnya hutan. Menyulapnya menjadi ladang dan kebun sayur. Jalan raya yang terbangun, memudahkan mobilitas penduduk sekitar jalan menjual hasil buminya.
Ya, jalan raya selalu menjadi daya tarik. Kalau jalan raya punya dunia sendiri seperti di kartun Chalk Zone yang saban hari nongol di channel Cartoon Network, mungkin aku bisa melihat rekaman apa yang sudah terjadi di sepanjang jalan raya. Tapi, sayangnya itu hanyalah sebatas khayalan.
Setiap malam minggu, aku berkeliling Kota Bontang dengan kuda besi setiaku. Motor produksi Jepang yang sudah akrab di masyarakat Indonesia. Di dalam helm, aku memakai headset sebelah, dengan volume suara yang wajar. Tidak baik, sih. Namun lain kali, hal ini berguna sekali. Saat aku pulang dari kuliah di Universitas Trunajaya, di pinggir jalan anak kecil asyik melempar petasan ke pengendara. Untung, aku memakai headset. Jadi tidak terlalu mengagetkan dan memecah gendang telingaku. 
“Uhh, anak-anak ini. Belum tahu rasanya tangan putus gara-gara petasan ‘kah?” Seruku jengkel. Mereka hanya cengengesan. 
............................................

“Berhati-hatilah naik motor, nak. Kamu masih muda. Suka ngebut-ngebutan itu tak baik.”
Suara lembut mama dari pintu kamar. Aku mendongakkan kepala. Mata teduhnya meski dihiasi kerutan usia perjuangan hidup di wajahnya, ia selalu menjadi cinta pertamaku. 
“Iya, ma.” Sahutku singkat. Tertunduk.
“Anak tante Erin di Kampung Jawa meninggal 2 hari lalu. Tabrakan beruntun di tengah kota. Kau tahu, nak? Tubuhnya terseret seratus meter. Sedang seminggu lagi ia akan wisuda di Universitas Mulawarman bulan Maret ini. Tante Erin terpukul hebat. Mama bisa mengerti perasaannya. Meski Ridwan memiliki keterbatasan, ia selalu menjadi anak kebanggaan Tante Erin.”
Aku terdiam mendengarkan.
“Penyebabnya supir truk yang ugal-ugalan. Memakan bahu jalan.” Mama melanjutkan.
Mata mama mengembun. Aku tahu. Aku paham. Sebagai anak laki-laki bungsu di rumah ini, aku belajar empati darinya. Aku tak tahan melihat beliau terus menangis, sekonyong-konyong kuceritakan suasana wirausaha yang kubangun di tempat usahaku. Bagaimana semangat kerja karyawan tekstil yang cekatan. Tak lupa aku juga menyampaikan keadaan keluarga karyawan baik semua. Senyum surga mulai terukir di wajah mama.
“Alhamdulillah, mama senang sekali mendengarnya. Sampaikan salam mama kepada mereka ya, Do. Mama ke ruang baca, jangan lupa makan malam. Sudah sholat Isya’?”
“Oh ya, segera ini ma. Segera menuju TKP. Tempat wudhu. Hehe…”
Melakukan hal-hal bodoh seperti mengebut di jalan raya adalah jalan cepat menghadap Tuhan. Mati dalam keadaan sia-sia. Mengingat mama dan almarhum papa, rasanya cukup untuk mencegahku melakukan hal-hal bodoh yang mengancam nyawaku. Masih ada agenda membuat bangga mama yang masih hidup dan juga papa di alam sana. Maka dari itu, aku selalu menyimpan foto mereka di dompetku. Jadi, kalau aku sewaktu-waktu putus asa akan hidup, mereka selalu menjadi sumber penyemangat.
“Boleh ngebut kalau kau punya nyawa cadangan, Do.” Nasihat Pak Tito, polisi lalu lintas yang pernah menilangku 3 bulan lalu. “Kamu ini ganteng, loh. Kamu ini cuma satu di dunia. Langka!”
“Yaah… macam hewan langka, dong Pak. Seperti pesut Mahakam yang dilindungi di Kalimantan Timur.”
“Sayangnya kamu nggak bisa berenang, to’”
Aku tertawa menatap pria separuh baya itu. Kumisnya naik turun. Aku memeluk perut saking lepas tertawa.
“Daftar SIM setengah mati lolosnya. Sampai seret-seret motor. Apalagi yang ‘nembak’. Sadar dirilah. Iyakan anak muda?”
Aku mengangguk takzim.
Mama tinggal sendiri di rumah. Kesepian sepeninggal papa, membuat mama membunuh rasa dukanya dengan membuka Rumah Baca Asma Nadia. Rumah Baca yang di gagas oleh penulis paling produktif di Indonesia. Rumah Baca yang sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mama juga pernah berkontribusi di salah satu buku penulis yang bukunya difilmkan itu. Bagi mama, membaca dan menulis adalah terapi yang efektif untuk keadaan psikologisnya. 
“Tapi, Do. Meskipun mama sudah pernah satu buku antologi sama Asma. Sayangnya belum pernah ketemu. Menyambangi kota kita belum pernah. Kapan ya, Do?”
“Berdoa aja ma. Semoga Aldo ada rezeki lebih buat menerbangkan Asma Nadia khusus buat Mama. Apaan sih yang nggak buat mama?”
Terakhir, mama menghujaniku dengan pelukan bertubi-tubi. Ah, mama. Selalu saja mengganggapku sebagai her little son. Padahal usia sudah menginjak dua puluh tahun.
Setelah menunaikan sholat Isya’ dan menyantap udang asam manis di meja makan. Aku mulai membuat planning usahaku selanjutnya. Membuka relasi luas untuk para investor di usaha tekstilku. Cita-citaku sebagai entrepreneur muda memicu untuk selalu berkarya. Menjadi pemuda yang bangga memperkenalkan batik Kalimantan ke khalayak luas. Menjadi the next Dian Pelangi versi laki-laki. Keahlian bidang fotografiku yang lumayan mumpuni, sangat menyokong publikasi usaha fashion distro yang juga kugeluti. Clothes make the man.
Hidup hanya sekali.
Jangan menua tanpa prestasi dan inspirasi
  Kutipan favorit dari Ridwan Kamil ku resapi. Super sekali kata-kata walikota Bandung ini. Sudah terlalu banyak pemuda mainstream, aku harus menjadi pemuda antimainstream. Pemuda yang berdaya bagi lingkungan sekitar. Aku haus komunitas positif di kampus maupun di luar kampus. Dari situlah, aku mendapatkan inspirasi tiada henti. Atmosfer perjuangan para mahasiswa antimainstream. Bukan melalui demonstrasi, meski aku paham maksud mereka. Sebagai agen perubahan, terkadang kami tak dihiraukan pemimpin. Maka caranya ya dengan itu, menyentil mereka dengan aksi di jalanan. Agar orang-orang berdasi menoleh sejenak dan mendengarkan aspirasi mahasiswa.
Tapi, aku beda jalan. Aku ingin dengan cara yang lebih elegan. Menyentil para pemimpin dengan karya nyata. Dan ini tak seharusnya membuat sesame mahasiswa terpecah dan mengklaim siapa yang paling peduli terhadap Indonesia. Hanya beda jalan, namun satu tujuan. Untuk Indonesia lebih baik. 

                                                               ............................................

Pikiranku pun loncat kembali ke kejadian tadi pagi di jalan poros perjalanan Bontang Samarinda yang dikenal dengan ‘jalur angker’. Sekelebat anak-anak sekolah sekitar jalan poros, dengan seragam lusuh, sepatu robek. Menyetop motor atau mobil di pinggir jalan. Lebih banyak diacuhkan. Termasuk aku mengacuhkan mereka. Agenda meeting dengan pengusaha lain membuatku tak sempat menghentikan kendaraan. Meski aku tahu, jikalau aku berhenti mereka berada di tangan yang baik.
Belum lupa dari ingatan, kabar berita pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak. Mereka menyetop kendaraan sepulang sekolah, di bawa ke keliling tak tentu arah. Dan di sanalah terjadi pemerkosaan. Anak tersebut di buang di tepi jalan dalam keadaan berdarah-darah. Tidak hanya luka fisik tapi juga psikis yang ditinggalkan. Sampai hari ini pun, si anak trauma melihat mobil melintas.
Belum lagi, kecelakaan anak sekolah di jalan poros. Tidak memakai helm. Ngebut-ngebutan. Pihak sekolah sudah melarang. Tapi anak-anak tetap kekeuh dan sembunyi-sembunyi membawa kendaraan bermotor mereka. Tidak ada solusi yang ditawarkan. Orang tua murid banyak yang berada di garis kemiskinan, buruh kebun, transportasi minim dan sering digunakan oleh orang tua mereka untuk mengais rezeki. Itupun kalau nasib lagi baik, angkot kadang lewat jalan poros. Belum lagi terhitung kerusakan jalan, ruas jalan sempit, lubang di tengah jalan. Jalan berkelok-kelok. Riskan sekali. 
Korban lalu lintas anak-anak sekolah membuatku benar-benar prihatin. Sebagai jiwa pengebut, aku rasa dari segi umur pun belum pantas. Boro-boro punya SIM, hafal rambu lalu lintas saja sudah bersyukur. Denda tidak memiliki SIM saja bisa merogoh dompet 1 juta rupiah. Anak-anak… Masa depan mereka masih terbentang panjang. Bintang-bintang yang mereka gantungkan setinggi langit, masih mempunyai rentang waktu untuk diwujudkan. Bagaimana kalau transportasi ke sekolah saja masih susah? Aku harus mencari titik solusinya. 
Sebagai pemuda, aku bercita-cita menjadi pelopor keselamatan. Setidaknya jika tak ingin menjadi korban kecelakaan, jangan jadi penyumbang kecelakaan bagi yang lain. Di Indonesia saja, tahun 2014 jumlah korban tewas karena kecelakaan lalu lintas mencapai 120 orang tiap harinya. Dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi ini, 70 persen dialami oleh pengendara bermotor. Serta menempati posisi ketiga penyebab kematian setelah serangan jantung dan stroke. Tidak hanya itu, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah Nepal mengenai tingkat angka kematian akibat kecelakaan lalulintas. Ini benar-benar bukan prestasi bagus yang layak untuk dibanggakan. 
Kecelakaan yang tiap tahun terjadi, murni bukan musibah tapi human error. Dan hal ini wajib menjadi PR untuk setiap pengendara untuk selalu mengedepankan safety comes first. Salah seorang temanku, Erika, pernah melontarkan pertanyaan kepadaku. 
“Kenapa sih cowok kalau naik motor nggak perhitungan banget? Sudah tahu mepet mobil bahkan sudah nyaris ditabrak, masih aja doyan ngebut. Macam nyawa banyak seperti kucing.”
“Cowok itu kalau nyalip nggak pake ragu-ragu. Kalau ragu-ragu, habis kita, Rik.” jawabku. Tipikal cowok yang anti di salip. Di salip mobil, malah balik salip balik. Tidak mau kalah. Mungkin kalau cewek, mereka akan menghitung dulu rumus fisika tentang kecepatan, jarak dibagi waktu. Di susul kemungkinan-kemungkinan ada berapa mobil yang lewat dan memicu tabrakan. Kemudian baru deh, jalan. 
Headline Koran kota yang saban hari menampilkan kecelakaan lalulintas, sempat membuat mama paranoid. 
“Aduduh, Aldo. Mama nggak mau baca koran  hari ini. Ngeri. Berita kecelakaan terus. Mama nggak sanggup. Kemarin tetangga kecelakaan masuk koran. Seperti nunggu antrian masuk koran, Do.”
“Yaa… gimana, Ma. Kejadiannya memang begitu.”

                                                                 ............................................
Masyarakat tidak bisa bergantung pada jajaran penjabat di atas. Melihat realitas tersebut, polisi lalu lintas pun sepertinya butuh bantuan dari pemuda. Dengan berbekal kerjasama dengan teman-teman sesama pengusaha, pihak Polres Bontang, dan produsen helm berstandar, kami pun membagikan helm kepada warga sekitar jalan poros. Mengusung tema ‘Sayangi dirimu, Sayangi Kepalamu’.
“Terima kasih banyak, mas-mas. Iya, saya nggak ada helm untuk jalan keluar. Makasih banyak, Mas.” Pak Kadir dan berpuluh kepala keluarga sekitar jalan poros sangat menyambut positif bantuan ini. 
Dan… untuk permasalahan transportasi sekolah. Karena masalah birokrasi, aku memutuskan mulai mengerahkan satu buah armada bus untuk difungsikan sebagai alat transportasi diperuntukkan khusus untuk anak-anak pinggiran jalan poros. Bis beroperasi pukul 6 pagi sampai pukul 3 sore. Aldino bersedia menjadi supir bis. Ya, tentu saja. Aku memilih supir yang ramah dengan anak, disiplin waktu, dan tentu saja mempunyai SIM A. 
Tidak ada hal yang paling membahagiakan melihat senyum lebar pagi mereka menyapa tiap bis sekolah menepi di pinggir jalan.  Mama dengan senang hati, membawakan satu kardus berisi sandwich tempe. Dan sekejap menjadi breakfast favorit anak-anak di bis. 
“Sarapan pagi membuat otak lebih siap menyerap ilmu, Aldo.” Jelas mama padaku.
Laporan terakhir yang kuperoleh dari 3 kepala sekolah, anak-anak didik mulai jarang mengendarai kendaraan bermotor ke sekolah. Hatiku lega sekali. 
Berharap koran hari-hari berikutnya, berkurang berita kecelakaan anak-anak sekolah di jalan Poros. Baru satu bis yang beroperasi, mengingat anak didik di 3 sekolah tidak begitu banyak.
Jangan hanya berjuang untuk mimpi-mimpimu sendiri. Ambil permasalahan yang ada di masyarakat, taruh di pundak, dan jadikan salah satu agenda perjuanganmu untuk Indonesia lebih baik. Karena kita semua harus menjadi pelopor keselamatan di jalan. Itulah kata-kata bijak mama yang keluar dari mulutnya setelah niatku membantu anak-anak jalan poros itu, ku camkan kuat di pikiranku.
Aku tobat ngebut-ngebutan. Memang lebih baik menjadi contoh yang baik untuk adik-adik sekolah. Wajah-wajah yang kini mulai kuakrabi seperti Tono, Aldi, Clara, Dian, dan lainnya. Di dalam bis, kami mendendangkan lagu AFI Junior ‘Terima Kasih Guruku’, sambil menggrenjeng gitar. Soundtrack-ku hari ini. 

Pagiku cerahku…
Matahari bersinar…
Kugendong tas merahku di pundak…

Selamat pagi semua…
Kunantikan dirimu…
Di depan kelasku menantikan kami…

(Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan', #SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lomba Horor Tengah Malam

Talk About MAMA

Binti, Binti, dan Binti