Hijrah Cinta si Mata Elang

        Gesekan aliran darah dari dialiser memenuhi tubuhku, obat dari dokter menjadi teman sehari-hari yang harus kuteguk. Bahkan aku lupa kapan kupoles kulitku dengan handbody lotion dan berbicara pada cermin, “Mirror…mirror. Here I stand? Who is the fairest in the land?”

Aku gadis kelahiran kota kecil bernama Bontang. Aku mempunyai hobi bermain basket, karate, dan badminton. Olahraga yang menguras keringat dan tentu saja cocok dengan gayaku yang tomboy. Teman-temanku banyak yang memanggilku si mata elang. Setiap selesai olahraga, minuman berasa atau soft drink dingin selalu menjadi favorit mengakhiri aktivitasku. Prinsip yang pegang dalam hidupku adalah bermain yang sportif, jangan lupa berusaha dan latihan juga disertai dengan berdoa.
Setelah lulus dari SMP swasta bergengsi di kota Taman ini, aku memilih unuk sekolah di sekolah negeri. Selain hemat di biaya juga temanku bertambah banyak. Dan kiranya ini akan menjadi sasaran empuk guru baru yang menanyaiku awal masuk, alasan kenapa aku pindah ke sekolah negeri yang notabenenya fasilitas terbatas meskipun gratis, jauh bertolak belakang dengan sekolahku sebelumnya.
Di hari terakhir Masa Orientasi Sekolah (MOS), aku dengan lima teman menampilkan karate di depan teman-teman yang akan menjadi pelengkap hariku di masa putih abu-abu. Masa yang katanya sih, masa penuh warna. Kudapati mata-mata yang penasaran dan kagum di sudut-sudut aula. Aku melakukan gerakan karate dengan mantap dan tatapan tajam bak mata elang. Seperti biasa, aku pasti akan dilabeli si judes, si jutek, oleh teman baru bahkan kakak kelas. Hmm…
Aku berada di kelas X F, aku mendapat banyak teman di kelas. Yang akhirnya menjadi sahabatku di sekolah. Mereka adalah Anggun, Cristy, dan Ayu. Kami biasa jalan-jalan keliling kota dan berdiskusi seputar kakak kelas terutama cowok-cowok keren di sekolah. Kegiatan kelas juga heboh, kami dan teman-teman kelas X F mati-matian membersihkan kelas dari pagi sampai dengan malam. Berjuang meraih juara kelas terbersih. Kerja keras ini membuat kami meraih juara kelas terbersih di sekolah. Tidak hanya kerjasama yang tersirat, namun atmosfer persahabatan yang mereka pancarkan.
Konsisten olahraga basket tiap sore, akupun di daulat menjadi tim basket sekolah yang bertanding di laga Development Basketball League (DBL) di Kota Samarinda. Teman-teman basket dan cheerleaders sangat friendly. Selain latihan rutin, kami menghabiskan waktu di mall dan berbicara tema apapun di kamar hotel. Meskipun akhirnya tim basket kami tak menang, kami tetap saling menyemangati satu sama lain. Sekaligus jadi pengalaman yang akan terus kusimpan di ingatanku.

Saat Ujian Menyapa
Badanku bengkak akhir-akhir ini. Kuraba wajahku lebam dimana-mana. Seperti habis dipukul orang. Tapi ini bukan dipukul orang lebih tepatnya. Mama heran melihatku. Akhirnya aku ditemani mama pergi ke rumah sakit. Ternyata ada penumpukan cairan dari ginjal ke seluruh tubuh kata dokter yang memeriksaku. Ada yang salah dengan ginjalku. Aku izin seminggu dari aktivitas sekolah dan olahraga untuk berobat dan istirahat. Pacarku sesekali membawakan makanan kesukaanku ke rumah.
Siang hari, aku paksakan diri pergi ke sekolah. Pacarku mengantarkanku ke sekolah yang lumayan jauh jaraknya. Teman-teman kelas sedang merombak kelas. Akan ada penilaian kelas terbersih. Aku merasa nggak enakan jika tidak membantu. Ayu sudah menyambutku di depan lobi sekolah.
“Nggak apa-apa, Na?”, raut wajah Ayu begitu khawatir menatap wajahku.
“Ah nggak apa-apa kok. Hehe.”
Menginjak tahun menjadi kelas XI. Penyakit itu masih saja mengikutiku. Aku tidak bisa melakukan olahraga favoritku. Sampai berita itu datang dari dokter.
Vonis.
Gagal ginjal.
Dunia seakan berhenti berputar. Tak berpihak padaku.
Aku masih ingin ikut kegiatan olahraga. Basket. Badminton. Karate. Hangout sama teman-teman. Datang ke sekolah bertemu guru dan teman-teman.
Aku ingin ikut Ujian Nasional dan bisa kuliah.
Bukan menghabiskan waktu di rumah sakit yang penuh aroma obat ini.
Dan terakhir, ingin melihat ayah mama bisa menyatu lagi. Rukun lagi.
Aku menghirup nafas.
Aku menatap dalam wajah mama dan adik di sampingku.
“Maaa…”
“Ya, sayang?”
Air mataku menitik ke pipiku.
“Ayah dimana?”

Hijrah Cinta
Aku belum berjilbab kecuali pesantren kilat yang diselenggarakan selepas MOS. Baru kemudian memasuki kelas XI, aku memutuskan untuk mengenakan sehelai kain itu di atas kepalaku. Satu per satu sahabatku juga mulai berjilbab. Bukan jilbab panjang menutup dada yang kukenakan, baru sebatas leher tertutup. Aku nggak mau menunda perintah Allah, sebab aku bisa saja dipanggil Allah setiap saat.
Aktivitas olahraga seperti basket, karate, dan badminton yang masih kujalani tidak lantas membuatku melepas jilbab. Namun intensitasnya kukurangi. Pacarku juga tidak berkomentar banyak. Namun, akhir-akhir ini tidak bisa latihan sparing basket lama-lama. Aku langsung capek. Air minum pun dibatasi. Tidak sembarang makanan yang bisa kulahap tanpa pikir panjang, sakit ini sangat ‘otoriter’. Sekali aku nakal dan melanggar, bengkak kembali badanku. Mama yang panik melihat sakitku kambuh. Maaf, ma…
Berjilbab atau terlambat sama sekali, pikirku. Semua akan berjilbab pada waktunya. Kalo gak di dunia, yaa di liang lahat. Ya Allah… Aku tersentak. Sakit ini membuat lebih dekat pada-Nya. Sholat makin kujaga.



Pulang
Lenganku makin nyeri. Aku kehilangan beberapa kilo berat badanku. Wajahku kuyu. Lemas. Kamar pasien hemodialisis menjadi kamar akrabku. Kuamati kanan kiri, lilitan selang terhampar.
Guru kelas menjengukku di rumah sakit. Menanyakan kabarku dan kesanggupan hadir untuk ikut Ujian Nasional. Aku berusaha mengiyakan dan menjaga kondisiku. Tiga teman kelas mengenakan jas laboratorium memasuki ruang perawatanku.
“Hei, wartawan. Mau liput aku kah?” candaku pada Zahra yang menjadi wartawan muda Bontang Post.
“Ahahahaa… nggak kok, Na.”
Selepas mereka pulang, ruang perawatan menjadi sunyi lagi. Kunyalakan murottal dari hapeku. Mama hilir mudik di luar mengambil obat. Kesunyian yang disajikan di rumah sakit membuatku sangat bosan. Kuambil sehelai foto yang kutaruh di bawah bantal. Aku, Cristy, Ayu, dan Anggun dalam satu frame. Tersenyum.
Mendekati Ujian Nasional, kondisiku semakin membaik. Aku benar-benar menjaga tubuhku fit sehingga bisa ikut Ujian Nasional. Sebelumnya belajar dengan teman sekelas, mengejar materi yang belum kupelajari. Guru sekolah juga mensupport dan memberi jam tambahan saat aku fit.
“Inaaaaa… Kamu ikut Ujian Nasional?”
“Alhamdulillah, iya.”
“Nggak ada lo, nggak rame. Hehe.”
Memang benar. Melakukan segala hal dengan teman termasuk ujian ini terasa lebih ringan. Daripada harus ujian sendiri. Atmosfer ujian tidak sama sekali terasa. Lagipula aku kangen sekali bercengkerama dengan teman-teman di sekolah. Atau menemani mereka jajan di kantin bakso Pak Ipul.
Selesai Ujian Nasional, aku tetap harus rajin kontrol ke dokter dan cuci darah di rumah sakit. Aku pun tak lupa menghadiri acara perpisahan yang di gelar di aula Hotel Equator. Momen terakhir bersama teman-teman SMA. Ketika hari H pengumuman UN, aku berusahakan diri naik motor ke sekolah pelan-pelan. Mama sibuk dan aku tidak ingin merepotkan beliau. Selama aku yakin aku bisa, aku ingin melakukan sendiri. Toh, kondisiku sudah lumayan membaik. Alhamdulillah, pengumuman UN keluar dan kami lulus 100 persen.
“Na, kamu bawa motor sendiri? Eh, sumpah lo. Kamu masih sakit.”
“Gak papa kok. Ini udah agak baikan. Aku naik motor pelan-pelan kok.”
Sahabat-sahabatku sibuk mendaftar kuliah. Aku tetap di Bontang. Namun tak lama, penyakitku kambuh lebih hebat dari biasanya. Aku pun di rujuk ke rumah sakit lebih besar di Samarinda. Di saat sakit keras itu, aku memutuskan hubungan dengan pacarku. Meskipun kami tak berhubungan lagi, sesekali dia menjengukku meski di luar kamar perawatan.
Mama setia menemaniku di rumah sakit. Adikku di bawa ikut serta. Ayah belum muncul batang hidungnya. Kemanakah ia saat aku sakit keras begini? Apakah ia tidak peduli, khawatir padaku?
Tubuhku kurus. Mataku sayu. Kulitku menghitam. Aku seperti bukan Risna Tiyasa yang dahulu segar. Gesekan aliran darah dari dialiser memenuhi tubuhku, obat dari dokter menjadi teman sehari-hari yang harus kuteguk. Bahkan aku lupa kapan kupoles kulitku dengan handbody lotion dan berbicara pada cermin, “Mirror…mirror. Here I stand? Who is the fairest in the land?”
Aku capek. Benar-benar capek. Aku ingin menyerah saja dari penyakit ini.
Tapi….
Setiap aku melihat mama di samping ranjang. Mama yang selalu menemaniku berobat. Memberiku semangat. Beliaulah alasan aku harus terus berjuang melawan penyakit ini. Aku ingin sembuh. Aku ingin membanggakan mama. Menjadi sumber senyum mama dan kakak yang baik untuk adikku.
Sakit ini membuatku sadar. Nikmatnya sehat yang diberikan-Nya. Belum lama aku menyempurnakan perintah Allah untuk berjilbab sempurna. Istiqomah berjilbab setiap latihan olahraga. Menjadi atlet muslimah yang beriman. Semoga saja sakitku ini, merontokkan dosaku.
Sepertinya Allah sangat sayang padaku. Memanggilku untuk pulang.


Teruntuk sahabatku, alm. Risna Tiyasa 
4 Desember 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lomba Horor Tengah Malam

Talk About MAMA

Binti, Binti, dan Binti