Apa yang Membuatmu BERTAHAN? -Catatan Hati Seorang Relawan-
Sebut saja Kirana. Gadis bertubuh
padat berisi, pipinya chubby, rambutnya sering dikepang kuda. Saban hari
mengamen di perempatan lampu merah bersama temannya, sesama anak jalanan. Ujung
rambutnya kuning keemasan, bukti terbakar sinar matahari kota Tepian yang
kadang tidak bersahabat. Gadis ini pun yang menohokku begitu keras. Apa yang
membuatmu bertahan?
Berstatus
sebagai relawan Klinik Jalanan. Sebuah rehabilitasi anak jalanan di kota
Samarinda. Klinik ini diinisiatori oleh mantan presiden BEM Universitas
Mulawarman tahun 2013-2014 lalu, Haerdy Pratama Wijaya. Klinik Jalanan berfokus
pada anak jalanan yang kecanduan ngelem, narkoba, dengan tiga macam perlakuan
yaitu rehabilitasi, motivasi, dan edukasi. Dan aku menempati posisi sebagai
relawan bergerak di bidang motivasi. Kebetulan sesuai dengan bidang ilmu yang
sekarang kudalami di Unmul.
Belajar
dari teori rasanya membosankan. Tidak mendapat real picture. Maka dari itu
ketika mendengar oprec Klinik Jalanan tengah tahun 2015 kemarin. Langsung saja
aku mendaftar via online. Anisa, teman sekamarku, pernah mengungkapkan
keinginannya mengajari anak jalanan. Aku pun mengamini, sampai berita gembira
ini sampai di telingaku. Ah, doa kami terjawab.
Aku
sadar, aku harus terjun langsung ke lapangan. Ke realitas masyarakat sekarang.
Didorong dari segi dorongan sosial dan dorongan berkontribusi untuk mendukung projek
anak Unmul yang kreatif. Kalau bukan kita yang mendukung projek sosial bagus
ini, siapa dong? Iya kan?
Tapi…
keharusanku mengikuti KKN di luar kota membuatku tidak sempat ikut pertemuan
perdana relawan Klinik Jalanan. Sempat ada wawancara, namun karena KKN di
pedalaman Berau, tepatnya di Berantai, di sana susah sinyal. Harus keluar dari
desa menuju ke kecamatan sejauh 7 kilometer melewati hutan. Sudah niatkan
menelpon pengurus Klinik Jalanan (sudah lewat harinya, tapi Fitri meyakinkan
boleh tetap dihubungi untuk segera wawancara), karena kesibukan proker KKN yang
tidak ada habisnya, membuatku benar-benar lupa.
Sampai
di Samarinda pun, aku pesimis tetap masuk dalam jajaran relawan Klinik Jalanan.
Aku, Insen, dan Aniskum pun agak nggak enak. Selain tidak mendapati nama kami
di zona-zona pembinaan anak jalanan. Wassalam… dalam hatiku. Mungkin ada jalan
lain lagi buat kami.
Sampai
suatu sore, Kak Raya menelponku, dan menyuruhku terjun langsung ke titik
pembinaan anak jalanan. Aku kaget, berhubung lagi menghadiri Karimah Pusdima
Unmul di halaman MPK. Apalagi temanya sangat menarik sore itu. Dilema. Akhirnya
kuputuskan untuk ke Jalan Antasari. Lima belas menit kemudian aku sudah di tepi
jalan. Celingak celinguk karena belum mendapati sosok relawan Klinik Jalanan (KJ).
Sudah mendekati waktu magrib, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berhenti di
depanku.
“Binti
ya? Klinik Jalanan…”
“Ya?”
“Ayok”
“Eh
iya kak”
Ternyata
laki-laki itu adalah Kak Jainal. Pengurus inti dari Klinik Jalanan. Di depan
ruko, aku mendapati sosok kak Haerdy juga. Relawan lain belum datang.
Aku
masih belum bisa beradaptasi dan nyaman. Selain belum punya badge KJ, aku masih
merasa pesimis masih di terima dengan baik. Tapi aku berusaha mengikuti
alurnya. Kadang turun ke lampu merah berkenalan dengan anak-anak jalanan. Ada
Ali, Akmal, Gepeng, Ayu, Hawa, Irfan, dan lain-lain. Setiap malam senin, rabu, dan jumat, relawan KJ melakukan
pembinaan. Kadang mengajari baca tulis, mengaji, atau bermain games.
Pasang
surut kehadiran anak jalanan membuat kami ekstra untuk terus melakukan raport
building dengan mereka. Di dalam kepalaku masih saja berputar-putar, “apa yang
bisa aku lakukan untuk mereka?”. Kemampuan akademisku benar-benar di uji saat
terjun di Klinik Jalanan.
Keaktifan
di WA jarang karena kesibukan dengan amanah yang lain. Kebanyakan nyimak
pembicaraan seru di WA relawan KJ. Awal bulan November lalu, aku mengikuti
Kaltim Youth Population Camp, dan bertemu dengan Kak Putri, founder Indonesian Volunteering
Hub. Di sana sharing mengenai volunteer. Saat itu terbersit ingin memberikan
kejutan dan dukungan buat teman-teman KJ. Terkhusus untukku juga sebagai
relawan. Maka, aku pun meminta kak Putri memberikan dukungan buat KJ lewat
video singkat.
Relawan tidak
dibayar dengan materi. Terus kenapa masih mau berkontribusi? Sebenarnya apa
yang di cari? Apa yang membuatmu ingin menjadi relawan? Bagaimana cara untuk
selalu konsisten?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas membuatku tersentak dan berpikir berkali-kali.
Kuedit
video apa adanya karena masih belajar editing video. Kemudian aku upload di
grup WA. Krik…krikk… postinganku di kacangin. Tenggelam dengan pembicaraan
relawan lain yang lebih seru.
“Oh…”
kataku lemah.
“Nggak
digubris.”
“Yaudah
sih…”
Kesannya
gimana gitu… Kecewa sih. Yaudah deh… Setelah itu aku malas buka WA. Entah ada
tanggapan atau gimana.
“Iya
sih, Muf. Aku juga ngerasa begitu. Makanya aku benar-benar nggak enak. Meskipun
dihubungi. Aku mah apa… sejak awal nggak hadir. Ntar kalo hadir, di kacangin.”,
curhat salah seorang teman yang senasib denganku.
Ritme
bahan pembinaan pun ku pikir belum tersusun dengan baik, khusus di zona tempat
aku membina. Selain, pembinaan malam hari, kupikir tidak efektif. Dari tempat
kurang kondusif. Aku banyak berkaca dari zona Sempaja yang tersusun rapi.
Meskipun
begitu. Aku tetap berusaha hadir pembinaan. Bagaimana tidak? Ali, adik anak
Jalanan, tak jarang menginbox di Facebook. Menanyakan kenapa aku tidak hadir.
Kangen.
Allahu
Rabbi… sebegitu berarti kami di sana…
Meskipun
aku harus menahan sesak karena mereka merokok di depanku. Mengorbankan waktu
malamku untuk hadir di sana. Waktu malam yang biasa kugunakan untuk mengerjakan
tugas, koordinasi amanah yang tak ada habisnya, sampai les private dek Shafa.
Tempat
bermain mereka di jalanan. Mereka sudah seperti adikku sendiri. Ingat dengan
adik di rumah. Adik-adik di Berantai, tempat KKN 3 bulan lalu. Apa yang bisa
kupersembahkan untuk mereka?
Kadang
rasa kecewa itu datang… Kadang rasa malas memelukku untuk tetap duduk berkutat
di kegiatanku saja. Bukankah aku seorang relawan? Bukankah aku punya mimpi
menjadi penghubung kebaikan dan berbagi ilmu yang kupunya?
Sampai
kata-kata itu datang. Meluncur dari mulut gadis yang kubonceng di belakang.
Mengantarkannya ke perempatan lampu merah untuk mengamen.
“Aku punya cita-cita kak. Pengen jadi
dokter. Hanya aku aja yang punya pemikiran seperti ini. Teman-teman nggak ada.
Mereka maunya ngamen saja. Padahal ngamen tidak selamanya.”
Masya Allah…
gumamku pelan.
“Kamu
ingin lanjut sekolah de?”
“Iya
kak. Tapi mamak larang.”
Suara
gadis di belakangku merendah. Aku bisa membayangkan betapa semangat
menggebu-gebu untuk meraih cita-cita namun harus kandas karena larangan itu.
“Kata
mamak tidak usah sekolah. Tapi aku ingin lanjut sekolah. Di Sulawesi seharusnya
sudah SMP. Kalau mau jadi dokter ‘kan harus sekolah. Makanya aku ingin sekolah
lagi.”
“Keren!
Kakak bangga banget sama kamu. Semangatmu! Semangat ya de. Semoga Klinik
Jalanan bisa buat kamu sekolah lagi, meraih cita-citamu.” Aku tersenyum lebar.
Aku
terharu mendengar keinginannya. Jauh-jauh datang dari sebuah desa di Sulawesi
Selatan, untuk mengais rezeki. Kirana harus pergi karena ada suatu masalah di
rumahnya di Sulawesi sana. Ayahnya penjual koran, penghasilannya tidak
seberapa. Kalau hujan, koran tidak laku, maka dia harus menanggung rugi.
Sedangkan sang ibu berjualan opak. Kirana pun harus mengamen, membantu agar
dapur tetap mengepul.
Maka…
aku pun kembali bertanya pada diriku sendiri.
Apa
yang membuatmu bisa bertahan menjadi seorang relawan? Relawan tidak di bayar
uang, materi, atau yang lain.
Aku ingin tetap bertahan demi mereka.
Bertahan di samping mereka. Aku tidak ingin melepas mereka. Aku harus bertahan.
Mereka butuh kita. Aku tidak ingin menyesal, saat waktu terus merangkak naik.
Kemudian aku mendapati mereka hilir mudik di lingkaran setan dan penjara. Aku
pasti orang pertama yang akan menyesal.
Bismillah… demi
mereka aku harus bertahan!
Dear, volunteer! Dimanapun kamu. Terus
berkarya dan berkontribusi. Karena dua hal itu adalah bentuk cinta kita akan
negeri ini, Indonesia. Meskipun kadang niat baik kita, tidak di sambut baik
juga atau kadang terabaikan. Sungguh, cukup Allahlah yang mengapresiasi setiap
niat baik kita. Menjadi pemuda yang berdaya dan bermanfaat bagi sekitar.
Ini
tentang masa depan. Ini tentang Indonesia.
Tetaplah
menebar semangat kebaikan dan jembatan ilmu yang kita miliki. Jangan pernah
ingin menjadi baik sendiri. Spread the love!
Komentar