Dinamika Keluarga dalam Kacamata Islam The 2nd National Conference on Islamic Psychology (NCIPUII) Part 1

                 The 2nd National Conference on Islamic Psychology (NCIPUII) telah berjalan hari ini (16/02) di Royal Hotel Ambarrukmo, Jogjakarta. Kali kedua ini Universitas Islam Indonesia (UII) selaku panitia dan tuan rumah mengusung tema “Psikologi Islam untuk Penguatan Keluarga Menuju Bangsa yang Tangguh dan Berkarakter”. Hari pertama yang jatuh hari ini, diisi oleh 4 pembicara yaitu Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, M. A (ketua KPAI), Prof. Dr. H. Arief Rachman, M. Pd (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M. Si (IPB), dan Dr. Hepi Wahyuningsih, S. Psi., M. Si (UII).

                Penguatan keluarga melalui nilai-nilai islam agar lebih berkualitas. Islam sudah sedemikian jelas sebuah keluarga di bangun. Interaksi antar orang tua dan anak bahkan sebaliknya. Contohnya kisah Nabi Ibrahim atau Rasulullah yang mencerminkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Meski keluarga unit terkecil, namun inilah yang juga menentukan kualitas, tangguh, serta berkaraker dari suatu bangsa. 

                Di awali oleh Pak Asrorun dengan makalah yang disampaikan sebagai bahan keynote speech seminar pagi ini, “Kontribusi (Psikologi) Islam dalam Penguatan Ketahanan Keluarga”.  Perselingkuhan yang sedang marak sekarang, sangat tidak sesuai dengan kaidah agama dan melawan fitrah pernikahan. Menginginkan keturunan di luar pernikahan yang absah. Menghendaki hasrat seksual di luar jalur pernikahan. Hukum zina sangatlah keras. Bukan karena merugikan orang lain namun karena merusak mekanisme keturunan yang ada di dalam Islam.

                Membuka mata lebih lebar, kita dihadapkan oleh realitas angka perceraian tinggi dari tahun ke tahun, pergaulan bebas, hidup konsumtif hedonis, dan berbagai persoalan sosial lainnya. Ketika LGBT muncul di permukaan, bahkan ada yang nyeletuk yang mengatakan bahwa menolak pemikiran LGBT itu pemikiran jadul dan purba, itu tahun 70-an. Mengikuti pemikiran psikologi amerika tahun ’73 mengeluarkan fenomena LGBT itu abnormalitas menjadi normal. Seorang anak pasti memiliki kewajiban diimbangi pemenuhan hak dasar anak.

                Berdasarkan Data Kementrian Agama 2010 hingga 2014 tercatat 15% perkawinan berakhir dengan perceraian. Bahkan setiap tahun rata-rata angka perceraian naik 11%. Masalah ekonomi dan ketidakharmonisan antara suami istri menjadi penyebab utama. Salah satu akar penyebab perceraian terbesar lainnya adalah rendahnya pengetahuan dan kemampuan suami istri mengelola dan mengatasi berbagai permasalahan rumah tangga. Selama ini, negara kurang dalam pembekalan pengetahuan dan keterampilan mengelola keluarga sehingga pasangan rentan bercerai. Karena itu, negara perlu pelembagaan konseling pranikah.

                Melalui lembaga tersebut, diharapkan dapat memberi pembekalan bagi calon pengantin sebelum menjadi keluarga. Psikologis, medis, financial, dan hukum menjadi kebutuhan dalam kesiapan diri sebelum menikah. Hal ini dilakukan pula sebagai upaya guna mengurangi angka perceraian di Indonesia.

                Konseling pranikah bertujuan untuk mempersiapkan diri menghadapi pasangan dan menjadi bagian keluarga besar pasangan sebelum menikah. Bentuk konseling pranikah seperti workshop pendidikan pranikah ataupun kursus pranikah.

                Singapura melakukan program sejenis kursus calon pengantin (suscatin)               bagi pasangan yang hendak menikah selama 15 hari. Kemudian di Brunei Darussalam program kursus calon pengantin digelar selama satu bulan. Sementara, di Indonesia program suscatin hanya ceramah 1-2 jam saja.

                Peristiwa perceraian ada yang belum terdaftar di pengadilan agama (hanya pernikahan muslim), belum lagi yang belum melapor. Dengan asumsi, satu pasangan suami istri punya satu anak, maka pasti ada 380ribu anak, setahun, anak kehilangan diasuh oleh kedua orang tuanya. Paling besar adalah anak berhadapan dengan hukum, baik menjadi saksi, pelaku, korban. Mayoritas penelantaran anak dipicu oleh kerusakan hubungan dalam keluarga. Pemicu lainnya adalah masalah ekonomi, tidak hanya kemiskinan tetapi juga kekayaan. Setelah perceraian, rebutan harta, kemudian rebutan hak asuh anak.

                Intinya, masyarakat kita yang memasuki jenjang pernikahan minim sekali dalam mempelajari, menguasai, khusus memahami apa-apa saja yang ada di dalam pernikahan. Wanita cenderung lebih tinggi mencari tahu dibandingkan pasangannya. Khususnya pasca mereka berkeluarga, hak dan kewajiban. Berdasarkan hasil penelitian KPAI, sebanyak 27,9% dari pihak ayah dan 36,9% dari pihak ibu menyatakan pernah mencari informasi tentang merawat dan mengasuh anak. Hal ini jelas memberikan gambaran bahwa pemahaman calon orang tua ketika memasuki masa pra nikah jelas sangat minim sekali pengetahuan dan pemahaman dalam merawat dan mendidik anaknya. Terbukti dengan kualitas indeks dari ayah hanya 2,61 dan ibu hanya 2,85 dengan kualitas indeks keluarga. Jadi, kematangan psikologis dari calon orang tua akan membina rumah tangga memiliki pemahaman dan pengetahuan yang sangat rendah kualitasnya. Sehingga masih perlu ada penyadaran dan pembinaan lebih lanjut terhadap pasangan-pasangan muda yang akan melaksanakan proses pra nikah supaya lebih baik kualitas keluarga yang akan dibangun. Persiapan pengasuhan sangat penting agar mencegah terjadinya pelanggaran hak anak.

                Kualitas waktu secara spesifik hanya 1 jam, belum lagi kualitasnya ‘ketemu ngapain?’. Bisa memilihkan tapi tidak bisa mengawasi. Orang tua berusaha memproteksi namun lebih banyak anak juga bisa memproteksi. Contoh, HP anak saja pakai password. Orang tua tidak tahu. Nah!

                Pengaruh perkembangan global pun tak memengaruhi. Spesifiknya dalam bidang budaya dan agama. Salah satu isu yg mendapat perhatian besar adalah ketika Mahkamah AS melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara melalui putusannya 26 Juni 2015. Putusan ini tidak diambil secara bulat. Empat dari Sembilan hakim menyatakan dissenting opinion. Hakim Antonin Scalia, dalam dissenting opinion-nya, menilai keputusan ini adalah kudeta yudisial dan ancaman bagi demokrasi. Demonstrasi LGBT sekarang mengarah pada pembentukan opini publik tentang lesbianism dan homoseksualitas. Mereka berupaya keras agar perilaku seksual mereka mendapat pengakuan dari masyarakat dan pemerintah.

                Bangsa Indonesia memiliki landasan kuat dan jelas tentang tujuan dan makna pernikahan. UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan sekedar ‘rekreasi seks’ yang dilakukan oleh orang-orang Barat.

                Dan... sebagai penutupnya bagaimana strategi penguatan ketahanan keluarga menurut staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini? Yup, ada beberapa hal langkah strategis yang bisa dilakukan untuk penguatan ketahanan keluarga, di antaranya:

1. Adanya kesiapan memasuki jenjang pernikahan yang lebih baik sehingga angka perceraian menurun.
2. Kualitas pengasuhan di lingkungan keluarga meningkat
3. Daya dukung kebijakan, anggaran, dan kelembagaan dalam mewujudkan ketahanan keluarga berjlaan optimal
4. Fungsi-fungsi elemen negara di bidang penguatan ketahanan keluarga berjalan secara sinergis dalam melakukan pencegahan terhadap tindak kekerasan dan pelanggaran di lingkungan rumah tangga.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternah dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Al Imran: 14)



Panjang ya? Hehe...
Asli. menarik parah tema seminar hari ini. masih ada 3 pembahasan dari 3 speaker. stay tune ya. 

To be continue….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lomba Horor Tengah Malam

Talk About MAMA

Binti, Binti, dan Binti